Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2014

Mengembalikan Peran Masjid Sebagai Pusat Peradaban

lpmarena.com,   Pendikotomian agama dengan berbagai persoalan masyarakat menjadikan masjid semakin eksklusif. Ada kesan jika masjid hanyalah tempat untuk orang beribadah. Padahal di era   Rasulullah ,masjid menjadi poros umat muslim dalam membicarakan keilmuan dan memusyawarahkan berbagai persoalan, baik sosial maupun keagamaan. Fenomena inilah yang menjadi landasan Takmir Masjid UIN Sunan Kalijaga menggelar “Lesehan Ramadhan”, sebagai salah satu rangkaian acara menyambut datangnya bulan Ramadhan. Acara ini akan digelar setiap menjelang buka puasa, dari tanggal 29 Juni hingga 15 Juli 2014. Dalam Lesehan Ramadhan ini, berbagai persoalan kebangsaan dan keagamaan akan dikupas. Bahwa agama harus kembali turun serta dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. “Kita kembalikan ke masjid, kita musyawarahkan bersama-sama (bagaimana menyelesaikan berbagai persoalan- red ),” ungkap Zamhari, ketua Takmir Masjid UIN Suka. Selain itu, acara ini juga bertujuan untuk menyatukan berbagai

Hanya Demi Solidaritas Semu

Peristiwa tawuran antar pelajar yang berujung pada jatuhnya korban kembali terjadi di Sleman, Yogyakarta. Ulah brutal “kaum terdidik” ini bukan hanya menodai citra Jogja sebagai kota pelajar, melainkan juga mencederai wibawa pendidikan sebagai wadah pencetak intelektual (bukan pencetak preman). Jika tidak ada upaya strategis dari komponen terkait, peristiwa serupa niscaya akan terus terulang kembali. Di Indonesia, tawuran antar pelajar seolah sudah menjadi budaya tersendiri. Ini tidak lepas dari “keberhasilan” para senior mentransformasikan benih-benih permusuhan kepada adik-adiknya. Seluk-beluk sejarah permusuhan antar sekolah sudah diajarkan tanpa komando. Sekolah mana yang kawan, sekolah mana lawan dikenalkan secara fasih. Dan semua itu terjadi di tengah “kegagalan” para guru dalam menanamkan nilai-nilai persaudaraan kepada para siswa.

Pilpres dan Warisan Permusuhan

Pertarungan Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun ini benar-benar seru. Saking serunya, sampai dua orang yang tengah mengantri mengurus SIM di Lampung pun harus berantem gara-gara berdebat soal capres ( Kompas.com /11 Juni 2014). Sebelumnya, dua orang tukang becak di Madura pun melakukan hal yang sama, juga dengan alasan yang sama ( Tribunnews.com / 6 Juni 2014). Dua kejadian ini seolah ingin melengkapi berbagai “pertengkaran” yang sudah begitu marak di media sosial tiga bulan belakangan. Menjamurnya pertengkaran, adalah bukti jika ketegangan telah merambah hingga tingkat akar rumput. Jika tidak ada upaya rehabilitasi yang strategis, dapat dipastikan Pilpres akan meninggalkan “keporak-porandaan” tatanan sosial di masyarakat. Dan ini sangatlah disayangkan, karena pada akhirnya, wong cilik yang harus kembali menjadi korban kepentingan para elit di Jakarta.

Jangan Asal Piala Dunia

Indonesia mencoba mengambil celah di tengah isu pencopotan Qatar sebagai tuan tumah Piala Dunia 2022, pasca mencuatnya aroma suap dibalik penetapan tersebut. Hal ini diungkapkan Menpora, Roy Suryo yang mendeklarasika diri –jika Indonesia siap menggantikan Qatar untuk menggelar Piala Dunia 2022. Bagi kita pecinta sepak bola, sepintas ini terdengar menggembirakan. Tapi melihat apa yang terjadi di Brazil, sudah semestinya kita berfikir ulang dengan rencana tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama, peristiwa demonstrasi dan pemogokan masal yang dilakukan kelas pekerja menjadi fenomena tersendiri, di tengah hingar-bingar hajat lima tahunan FIFA di Brazil. Naiknya harga kebutuhan pokok –baik logistik maupun jasa– akibat pengalihan dana subsidi untuk pembangunan infrastruktur Piala Dunia adalah alasan kemarahan masyarakat Brazil. Adalah benar jika sepak bola begitu dicintai warga Brazil, tapi kebutuhan perut akan makan, dan kebutuhan tubuh akan kesehatan tak bisa lagi mereka (manusi

Kuasa Sosial Media

Pemilihan calon presiden dan wakil presiden kali ini terasa lebih seru. Bukan hanya karena dua calon memiliki basis massa yang kuat, tapi keberadaan sosial media ( sosmed ) sebagai “media baru” membuat intensitas pertarungan menjadi lebih semarak, bahkan menyentuh masyarakat akar rumput. Dalam interaksi dunia maya inilah, seluruh masyarakat –dari mulai pejabat, pedagang, buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa dan lain sebagainya ikut berbicara soal politik. Baik mendukung capres idolanya, menghujat capres lainnya, hingga berdebat dengan pendukung capres lawan. Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sendiri, jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2014 telah melampaui angka 120 juta. Itu artinya, setengah dari penduduk Indonesia sudah menggunakan internet yang di dalamnya terdapat sosmed . Keberadaan sosmed sebagai media kampanye jelas tidak bisa dianggap sebelah mata.

Yakin, Laptop Anda Orisinil?

“Kami siap membeli laptop anda dalam kondisi apapun” Bunyi iklan demikian banyak kita jumpai, khususnya di kota-kota besar. Biasanya, yang mereka cari dari “laptop rusak” hanyalah   spare part   yang masih bisa digunakan.   Nah , konon, dari sinilah wabah laptop-laptop rekondisi menjamur di pasaran. Laptop rekondisi dengan laptop asli rakitan pabrik nyaris sulit dibedakan. Karena secara sepintas, tampilan terlihat sama. Tapi dalemnya?   Wallahua’lam … Lalu, apa kerugian kita jika ternyata laptop baru kita hasil rekondisi orang-orang tak bertanggung jawab? Pertama,   kinerjanya jelas tidak maksimal. Masih baru   kok   sering eror, masih baru   kokngehang , masih baru   kok   ini, itu, dan keluhan-keluhan lainnya yang tidak layak disematkan pada barang baru. Kedua,   kartu garansi tidak berlaku. Karena tidak dikeluarkan secara resmi oleh pabrik, otomatis pabrik tidak menyediakan layanan garansi. Alamak!Kalau ini menimpa kita, tentu ini musibah. Terlebih bagi yang ua

Menghadapi Pilpres ala Minke

"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan” Demikian pesan Jean Marais kepada Minke dalam Tetralogi Buru, karya fenomenal Pramoedya Ananta Toer . Karena pesan Jean Marais tersebut, Minke menjadi pribadi yang kerap mengalami pergulatan batin setiap menghadapi persoalan. Dia harus memastikan, bahwa langkah yang diambilnya berangkat dari fikiran yang adil, bukan karena intervensi, emosi, atau keinginan pribadi semata. Saat ini, perilaku itu dikenal dengan istilah objektif.