Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2013

Dibalik Perilaku Sadis Masyarakat

Fenomena Sadisme menjadi isu hangat yang banyak dikupas media, khususnya di Yogyakarta dalam beberapa hari terakhir. Hal ini tidak lepas dari kasus kejahatan sadis yang terjadi di Kalasan, Sleman DIY. Dimana sekelompok pria biadab tega memperkosa, membunuh dan membakar siswi SMK yang menjadi korban kebengisan tersebut. Perilaku yang seyogyanya tidak pantas dilakukan manusia sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati oleh Tuhan. Jika kita menengok ke belakang, kejahatan sadis yang terjadi di Kalasan bukanlah hal baru di Indonesia. Tentu kita ingat kasus Benget Situmorang yang tega memutilasi dan membuang potongan tubuh istri di jalan tol beberapa bulan lalu. Lalu Baekuni (Babe) pada tahun 2010 dengan 14 korban terkait homoseksual, paedofil , dan necrofil (menyetubuhi mayat), hingga kasus Very Idam Henyansyah alias Ryan pada 2008 dengan 11 korban.

Bijak Dalam Masyarakat Heterogen

Memiliki masyarakat yang multikultural seperti Indonesia adalah anugrah Tuhan yang perlu kita syukuri. Di belahan dunia manapun, nyaris tidak ada Negara yang memiliki tingkat keberagaman yang begitu kompleks layaknya Indonesia. Seperti kita ketahui, diantara 17.508 pulau di Indonesia, ada 1.128 suku, 748 bahasa dan 6 agama yang tercantum dalam BPS (Badan Pusat Statistik) hidup secara berdampingan. Tak heran jika semboyan Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda, Tetap Satu Jua) Keragaman itulah yang membuat bangsa ini terlihat unik dan kerap menjadi perhatian bangsa lain. Kekaguman masyarakat Internasional dengan apa yang ada di Indonesia bukanlah bualan semata. Tokoh-tokoh seperti Clifford Geertz atau van Vollenhoven merupakan ilmuan yang tertarik untuk mengkaji keberagaman Indonesia. Bahkan pada novel otobiografi Ahmad Fuadi yang berjudul Ranah Tiga Warna , ada salah satu adegan yang menarik. Disana di ceritakan bahwa Negara demokrasi sekelas Kanada nyaris pecah hany

Demokrasi Kebablasan, Kedamaian Masyarakat Terusik

Saat ini, perilaku anarkis bisa dilakukan oleh siapapun. Kekerasan tidak lagi identik dengan tingkat pendidikan ataupun ekonomi yang rendah, orang kaya dan berpendidikan pun kerap melakukanya. Bahkan aparat yang seharusnya memberikan keamanan, ada kalanya menjadi dalang dari kekerasan. Masyarakatpun kehilangan tempat berlindung, wajar jika masyarakat semakin gelisah akan keselamatanya. Kalau kita mengamati, perilaku atau fenomena demikian lahir dan menjamur pasca meletusnya reformasi. Dibalik sikap otoriter Soeharto, terciptanya stabilitas nasional yang bermuara pada keamanan negara menjadi sisi positif rezim orde baru. Kini, setelah 32 tahun hidup dalam kekangan Seoharto, masyarakat merasakan manisnya kebebasan. Demokrasi kerap kali dianggap lembaran kosong, akibatnya orang suka berbuat semaunya. Tidak sedikit yang berujung pada anarkisme yang meresahkan. Sebuah euforia yang terkadang berlebihan, untuk tidak mengatakan kebablasan . Padahal demokrasi adalah lembaran penuh aturan

UN Tak Layak dipertahankan

Dalam beberapa minggu ke depan, dunia pendidikan di Indonesia akan menggelar hajatan besar, yakni Ujian Nasional(UN) yang ke sembilan. Di awali dari tingkat SMA, SMP hingga terakhir di tingkatan SD. UN merupakan pengadilan terakhir yang memutuskan lulus atau tidaknya proses yang dilakukan siswa setelah beberapa tahun sekolah. Setidaknya, itu lah kesan yang melekat di benak masyarakat, meskipun pemerintah mengklaim UN sebagai sarana pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. UN merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada Pasal 35 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Namun, penyelenggaraan UN sering dipersoalkan, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) yang mengatakan ”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Perdebatan yang terjadi hingga kini adalah adanya ketentuan bahwa UN menjadi penentu k

Pengusutan Cebongan Butuh Keterbukaan

Peristiwa penyerbuan berdarah yang terjadi di Lembaga Permasyarakatan(Lapas) Cebongan Sleman hampir menginjak usia dua minggu . Tapi hingga kini, pihak peyidik-baik dari Komnas HAM maupun Polri belum menemukan titik terang terkait siapa dalang dibalik pembantaian tersebut. Jika kondisi ini tidak segera mengalami perubahan, perlahan kasus ini akan luput dari perhatian masyarakat dan media. Akibatnya, tragedi memperihatinkan itu akan lapuk termakan waktu tanpa ada penyelesaian yang jelas. Dan itu bukanlah hal yang baik untuk keberlangsungan bangsa ini. Mungkin saja ke depan masyarakat akan memandang kasus-kasus sejenis sebagai sesuatu yang biasa.