Jika di ibaratkan, perasaan yang kita rasakan saat
lulus SMA bagaikan dua sisi mata uang, disatu sisi kita bahagia bisa lulus tapi
disisi lain kita akan merasakan “kegalauan” yang tinggi. Bagaimana tidak, lulus
SMA adalah gerbang menuju kehidupan yang sebenarnya, dimana setiap tindakan
yang kita lakukan akan menentukan nasib kita kedepan. Sebagian orang terpaksa
memilih bekerja akibat kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Dan mayoritas mereka
mendambakan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi dengan harapan bisa memperoleh
kehidupan yang “lebih baik”.
Bekerja ditempat yang layak dengan penghasilan
yang cukup adalah dambaan setiap manusia. Pandangan itulah yang selama ini
dimanfaatkan perguruan tinggi dalam mempromosikan lembaganya kepada calon
mahasiswa. Ditambah lagi dengan bursa lowongan kerja yang mayoritas
mensyaratkan lulusan S1, semakin menciptakan stereotip di masyarakat bahwa “jika
ingin sukses maka kuliahlah”.
Memiliki semangat untuk bisa menempuh
pendidikan setinggi-tingginya adalah hal baik yang harus dimiliki setiap
generasi muda. Tapi etiskah jika menuntut ilmu dilakukan hanya untuk memuluskan
jalan mendapatkan uang. Pandangan itu tidak sepenuhnya salah, tapi yang perlu
kita tanyakan, sekomersial itukah makna luhur dari pendidikan? Padahal pendidikan
hadir bukan untuk menghasilkan materi semata, melainkan pendidikan hadir untuk mengeluarkan
manusia dari kebodohan(memanusiakan manusia).
Orientasi kuliah sebagai jalan pintas mendapat
pekerjaan sudah saatnya dibuang jauh-jauh dari fikiran kita. Karna pada
hakikatnya pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar. Sejarah mencatat Bill
Gate yang pernah menyandang gelar orang terkaya di dunia bukanlah seorang
sarjana. Bahkan milyader termuda di dunia yang juga pendiri Facebook, Mark
Zuckerberg hanyalah mahasiswa yang tidak menyelesaikan kuliahnya. Ditambah lagi
data yang mengisyaratkan banyaknya pengangguran yang berasal dari kalangan
terdidik(dibaca:sarjana) menjadi bukti bahwa kuliah tidak pernah menjamin
kebahagiaan orang.
Orientasi kuliah sebagai ajang mencari
penghidupan mengakibatkan mahasiswa berlomba mengejar gelar secepat-cepatnya. Akibatnya
dialektika yang dilakukan mayoritas mahasiswa saat ini pun terbatas pada masuk
kuliah, setelah selesai lalu pulang atau dikenal dengan sebutan “mahasiswa
kupu-kupu”(kuliah-pulang-kuliah-pulang). Karena dalam benaknya yang penting
kelak mendapat ijazah sebagai kartu sakti menuju dunia kerja.
Dialektika di luar akademik seperti
berorganisasi yang seharusnya mampu di ikuti kian hari semakin ditinggalkan
karena dianggap tidak memberi keuntungan. Padahal organisasilah yang sanggup
mencetak soft skill seseorang
dibanding kuliah yang terpaku dalam teoritis semata. Tidak hanya disitu,
pengalaman berorganisasi juga yang akan mengantarkan seseorang mampu berkarya
dimasyarakat. Jika mahasiswa tidak mampu berkarya di masyarakat, berarti esensi
dari kuliah yang dia jalani telah melanggar salah satu poin dari Tri Darma
Perguruan Tinggi yakni pengabdian pada masyarakat.
Pada hakikatnya, tanpa kita niatkan sekalipun pekerjaan
atau materi akan datang seiring dengan
kuantitas dan kualitas skill atau ilmu yang kita miliki. Karena yang
akan mengantarkan manusia pada kesuksesan(dibaca:kerja) adalah ilmu dan skill
yang dimiliki. Maka selagi kuliah tuntutlah ilmu semaksimal mungkin tanpa perlu
memikirkan pekerjaan. Lebih jelasnya niatkan kuliah untuk mencari ilmu yang
suatu saat akan bermanfaat bagi pribadi, keluarga dan masyarakat.
Comments