(Asumsi dari
maraknya praktik Money Politic dan Krusialisasi Jasa Dukun dalam sebuah
Pemilihan Kepala Desa)
Bagi sebagian
orang, memiliki kekuasaan merupakan hal yang selalu di dambakan. Alhasil, mulai
dari Pemilihan Presiden(Pilpres) hingga Pemililihan Kepala Desa(Pilkades), konfrontasi
memperebutkan kekuasaan merupakan dinamika yang tidak bisa dielakan lagi. Tidak
jarang, perilaku kotor seolah menjadi instrumen yang selalu mengiringi jalanya
sebuah pemilu.
Jika kita
menyadari secara penuh, memiliki tahta atau jabatan merupakan sebuah kondisi
yang berat bagi kita manusia, karena kepercayaan bukanlah hal yang murah. Tapi
ibarat dua sisi mata uang, dengan jabatan pula kita akan mampu melakukan banyak
hal yang sangat mempengaruhi kehidupan orang banyak. Disinilah
polemik(dibaca:perang batin) seorang pemegang kekuasaan berkecambuk, pilihanya
adalah menjadikan kekuasaan sebagai ladang pengabdian kepada masyarakat atau
menjadikan kekuasaan sebagai alat pemuas pribadi.
PILKADES
Sebentar
lagi, beberapa desa di DIY akan melaksanakan pilkades pada tahun ini. Dalam
prosesnya pertarungan politik yang terjadi dalam pilkades tidak jauh berbeda
dengan pilpres atau pemilihan lainya, yang membedakan hanya kuantitas dan
cakupan wilayahnya saja. Berbagai kecurangan seperti money politic masih
menjadi problem yang sulit dihindari. Dalam sebuah era peradaban yang
kapitalistik, dimana pertarungan hidup semakin kejam, sikap pragmatis akan
sulit dihindari oleh sebuah masyarakat. Dan uang bertransformasi menjadi “tuhan
baru” yang keberadaanya diburu manusia dimanapun dia berada. Kondisi inilah
yang dimafaatkan para calon untuk mengakumulasi suara.
Ditambah
dengan kondisi ekonomi masyarakat yang serba sulit, semakin krusial pula posisi
uang dimasyarakat. Masyarakatpun
dianggap sebagai komoditas suara yang siap digarap. Dan pada akhirnya
kondisilah yang memaksa masyarakat tidak lagi berfikir siapa yang layak, tapi
siapa yang membantu menyambung hidup dialah yang dipilih? Perilaku money
politic pun dianggap sebagai langkah kotor yang relevan.
Lalu
keganjilan lainya yang tidak pernah luput dalam mewarnai proses pilkades adalah
sangat krusialnya jasa seorang dukun. Gagasan demokrasi yang dimanifestasikan
dalam praktik suksesi politik desa nampak masih sangat berbaur dengan dimensi
metafisis dan ragam mitologis dalam pilkades tersebut. Inilah salah satu
kekhasan demokrasi di indonesia.
Dalam konteks pilkades, dukun
memiliki peran magis dan peran mobilisasi massa di lapangan. Peran magis misalnya dengan
menggunakan japa mantra, jimat-jimat, melaksanakan ritual-ritual tertentu. Peran mobilisasi massa dalam mencari dukungan di masyarakat misalnya
dengan ikut terlibat dalam pemetaan dukungan suara. Kultur masyarakat desa
khususnya di jawa yang masih sangat mempercayai hal irasional menjadikan cara
ini pun dianggap wajar.
Melihat fakta
diatas, yang menjadi akar permasalahan dari suburnya money politic dan jasa
dukun adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Sebagai sebuah
sistem, pilkades langsung tentu bertujuan untuk memperoleh pemimpin yang ideal
sesuai dengan keinginan rakyat. Tapi praktik-praktik kecurangan membuat hasil
dari pilkades tidak layak disebut murni“hati nurani” masyarakat.
Kondisi demikian
tidaklah baik untuk jalanya pemerintahan desa kedepan. Money politic dan
jasa dukun yang tidak sedikit akan mendongkrak biaya kampanye. Ini artinya
membuka kesempatan kepala desa terpilih melakukan korupsi(dibaca:balik modal).
Jika hal tersebut terjadi, maka masyarakatlah yang kembali dirugikan,
kesejahteraan yang lama dirindukan akan semakin menjuah.
Langkah yang
bisa kita tempuh untuk mengantisipasinya adalah dengan memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat. Harapanya, dengan pendidikanlah masyarakat akan tersadar,
sehingga mampu memilih pemimpin dengan cerdas yang sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan masyarakat luas. Dan disinilah dibutuhkan tangan-tangan trampil dari
elemen-elemen seperti mahasiswa dan LSM yang peduli akan lahirnya budaya
politik di masyarakat untuk mendidik masyarakat. karena kita sadari, pemerintah
dan partai politik sudah tidak bisa diharapkan lagi dalam upaya membangun
kesadaran politik dimasyarakat.
Comments