Oleh : Folly Akbar
A. Posisi psikologi dakwah dalam implementasi dakwah
Dakwah secara bahasa berarti menyeru atau mengajak. Sedangkan menurut istilah, dakwah berarti sebuah proses penyampaian pesan-pesan ilahi yang dilakukan da’i kepada mad’u. Dalam kajian teori komunikasi, sebuah pesan dianggap telah tersampaikan dengan baik apabila pesan tersebut sudah menghasilkan feedback dari komunikan. Feedback dalam hal ini diartikan sebagai efek dari pesan tersebut. Artinya jika kita korelasikan dalam aktivitas dakwah, proses dakwah dianggap berjalan dengan baik jika apa yang disampaikan da’i, telah mampu merubah kepribadian mad’u ke arah yang lebih baik.
Aktivitas dakwah yang diartikan sebagai sebuah sistem(dibaca: proses) secara material terdiri dari berbagai unsur atau komponen(utama), mulai dari da’i, isi dakwah, metode dakwah serta media dakwah. Untuk menuju proses dakwah yang efektif dan efisien, sudah menjadi hal yang wajib untuk memaksimalkan setiap komponen-komponenya. Paradigma inilah yang mengakibatkan para da’i terfokuskan untuk memaksimalkan komponen yang sifatnya material, padahal ada hal-hal yang sifatnya imaterial(diluar komponen utama), yang juga perlu di perhatikan seperti psikologi mad’u, kehidupan sosial mad’u dan lain sebagainya.
Seiring berkembangnya keilmuan jiwa atau biasa disebut ilmu psikologi, aktivitas dakwah tidak lagi mengadalkan unsur material semata. Kajian psikologi bisa dimanfaatkan sebagai solusi untuk mengefektifkan proses dakwah. Dalam kaitanya dengan dakwah, ilmu psikologi dirasa penting guna mengetahui kejiwaan mad’u. Dengan mengetahui kondisinya, tentu da’i akan bisa memilih metode yang sesuai dengan mad’u sehingga dakwah berjalan efektif. Karena kita sadari, setiap manusia memiliki watak dan kepribadian yang berbeda. Dan akan menjadi aneh ketika kita menyamaratakan metode dakwah kepada macam-macam orang. Secara lebih detailnya, kajian ini lebih dikenal dengan sebutan Psikologi Dakwah.
B. Karakteristik yang harus di pahami dalam dakwah
Secara garis besar, karakteristik bisa ditinjau dari beberapa sudut pandang, dan yang paling sentral bisa dipandag dari segi usia.
a) Usia Anak-Anak.
Dari segi aktivitas, keberagamaan anak-anak masih berada dalam taraf meniru, yakni meniru apa saja yang dilakukan orang tua dan orang-orang disekitarnya. Mereka belum mau mencari tahu apa landasan dilakukanya sebuah aktivitas ibadah. Cara pandang merekapun sangat positivistik da sangat kongkrit, kalaupun ada yang abstrak maka mereka akan mengkongkritkannya dengan caranya. Fantasi menjadi menonjol dalam cara berpikir mereka.
Sifat mereka pun sangat egosentris, artinya dalam membedakan yang kurang sempurna antara diri sendiri dengan pihak lain (semua dipandang sama dengan cara pandangnya). Aspek religius yang dimilikinya pun masih sangat terbatas.
b) Usia Remaja
Masa remaja kerap disebut sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dalam fase remaja, cara berfikir mereka mulai memasuki tahap operasional formal. Artinya sikap kekritisan, teoritis serta berfikir abstrak sudah mereka lakukan. Aktivitas keberagamaan masa anak-anak pun terkoreksi oleh pandangan kepentingan dan fungsi aktivitas bagi individu.
c) Usia Dewasa
Fase dewasa bisa diktakan sebagai puncak dari cara berfikir manusia tak terkecuali dalam keberagamaan. Di fase inilah manusia sudah mampu mendeferiesiasi kehidupan beragama, mampu menempatkan rasio, emosi, sosial dan ritual dalam bagian kehidupan keberagamaan.
Pemahaman agamanya pun sudah komprehensif dan dianut sebagai falsafah hidup, sehingga agama dapat dijadikan sebagai bagian integral dalam kehidupan. Tidak hanya itu, pada fase dewasa juga manusia sudah mampu berpikir heuristic, artinya sudah mampu menemukan sesuatu (dengan solusi berpikir) yang dicari bagi kehidupannya.
C. Rumusan Prinsip Kerja Pengubah Sikap
Pada hakikatnya contoh dakwah yang paling ideal adalah apa yang dicontohka rasulullah. Bisa dibayangkan, hampir 2 miliyar penduduk dunia mampu di islamisasi rasulullah. Artinya jika kita ingin membuat sebuah prinsip kerja dakwah yang efektif, maka lihatlah cara rasulullah berdakwah.
Jika diklasifikasikan banyak sekali metode dakwah yang dilakukan rasul. Tapi pada kesempatan kali ini, yang akan penulis bahas hanya dua metode saja. Yang pertama adalah dakwah dengan memberi contoh. Ada yang bilang bahwa sebaik-baik perintah adalah dengan mencontohkan. Artinya orang-orang akan lebih suka mengikuti da’i yang melakukan apa yang dikatakanya, karena secara psikologi hal tersebut menimbulkan keyakinan bagi mad’u.
Metode yang kedua adalah berdakwah dengan kesabaran. Tentu kita ingat sebuah kisah yag menceritakan bahwa rasul sering dilempari kotoran unta, dicaci maki dll oleh kaum kafir. Tapi dengan kesabaran yang rasul miliki, lambat laun banyak orang kafir yang justru berpindah menjadi muslim.
Pada hakikatnya, jika para da’i saat ini mampu mengkombinasikan antara metode dakwah rasulullah dengan kajian ilmu psikologi, maka dakwah akan sangat efektif.
Comments